Time Informasi

Informasi Baru Terupdate – Kumpulan Informasi Baru Terupdate. Situs Informasi Terpercaya, sejarah, kesehatan, ekonomi, politik, otomotif, teknologi, dan olahraga.

Banalitas Kekerasan dan Kejahatan Sistemik di Sekitar Kita

Kekerasan yang terjadi di sekitar kita belakangan ini harus diakui menjadi suatu realitas yang hampir tak terbayangkan sebelumnya. Kekerasan seperti perampasan hak milik, perampokan, penganiayaan, pembunuhan juga pemerkosaan, menjadi kejahatan yang bisa terjadi kapan pun, di mana pun, dan menimpa siapapun. Kekerasan di sekolah, kekerasan seksual di pesantren, pemerkosaan di Palembang, pembunuhan di Padang Pariaman atau Lebak – Banten, hingga kasus kekerasan organisasi masyarakat yang terjadi belakangan ini menjadi contohnya.time informasi

Kekerasan (violence) berbalut kekejian (cruelty) yang destruktif bukan hanya menjadi masalah keamanan dan hukum, tapi juga suatu patologi sosial dan problem psikologi masyarakat yang bisa menjadi bencana budaya, bahkan bencana peradaban, di Indonesia. Karena kekerasan tidak hanya datang dari preman, residivis atau pemilik kekuasaan, tapi juga dari alamat yang berbeda-beda. Ia bisa dilakukan orang dekat, pacar, anggota ormas, pendidik, organisasi masyarakat bahkan aparat keamanan sendiri.

Ketidakberpikiran

Kekerasan menurut Konrad Lorenz dalam On Agreesion (1986) pada dasarnya merupakan rangsangan internal yang akumulatif dan mencari pelampiasan serta akan terekspresikan sekalipun dengan rangsangan luar yang sangat kecil, atau bahkan tidak ada. Itu sebabnya para pelaku kekerasan tidaklah harus orang-orang jahat berhati kejam penuh dendam. Siapapun, meski berasal dari kelompok religius, kalangan terdidik atau keluarga mapan, bisa melakukan kejahatan.

Seorang kekasih bisa memukuli pasangannya, suami bisa membunuh istri dan anak kandungnya, hingga dukun pun memutilasi pasiennya. Kejahatan terjadi bukan hanya karena ketimpangan ekonomi, problem personal atau masalah psikologis lainnya.

Kejahatan adalah perkara \”kapasitas\”, bukan \”kodrat\”. Kejahatan bukan melulu terdorong oleh rasa benci, dengki, dan seterusnya. Tapi kekerasan bisa terjadi karena, meminjam istilah Hannah Arendt, ketidakberpikiran (Riyadi, 2023). Kejahatan muncul dan bisa dilakukan oleh orang yang normal, bahkan mungkin tampak biasa-biasa saja, yang \”tidak berpikir\” dan membayangkan kengerian yang akan atau telah dialami korban.

Pelaku kejahatan kehilangan imajinasi untuk membayangkan posisi dan kondisi orang lain dan tidak berpikir melihat keadaan secara lebih luas. Mengutip Putra (2021), ini adalah sebentuk kegagalan dialog hati nurani, tidak adanya pengambilan jarak terhadap suatu realitas (less critical thinking) dan minim kemampuan menilai sesuatu benar atau salah sehingga tindak kekerasan yang dilakukan menjadi terasa wajar dan tidak mampu dipahaminya sebagai sebuah kejahatan. Arendt menyebutnya banalitas kejahatan (banality of evil).

Orang bisa melakukan kekerasan karena ia tidak melihat orang lain sebagai manusia, melainkan semata sebagai benda, atau bahkan musuh yang harus dihancurkan. Ketercabutan dari realitas dan ketidakberpikiran ini, mengutip Arendt (dalam Reza Wattimena, 2011), \”menjadi distorsi persepsi yang mengaburkan pandangan tentang orang lain, yang bisa jauh lebih merusak dari semua insting jahat dijadikan satu. Dan semua itu ada di dalam diri manusia.\”time informasi

Sistemik

Berefleksi pada apa yang terjadi akhir-akhir ini, kita berharap agar kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ini tidak mengalami kekerasan dan kejahatan yang sistemik. Disebut sistemik, lanjut Reza, karena kejahatan dalam berbagai bentuknya telah mengakar dalam kehidupan sosial hingga politik dan sistem birokrasi di Indonesia. Kekerasan tidak lagi dilihat sebagai suatu tindakan jahat, tapi sebagai budaya dan tindakan yang sewajarnya dilakukan.

Contohnya, kejahatan kerah putih seperti dugaan suap, gratifikasi, dan korupsi makin sering terungkap. Pelakunya kebanyakan justru para birokrat yang memanfaatkan kekuasaan dan kedudukannya di pemerintahan untuk memperkaya diri sendiri. Mereka melupakan tugas dan tanggung jawab etis/moral demi kepentingan rakyat.

Di sisi lain, kejahatan seksual juga terjadi di berbagai ruang hidup, mulai dari sekolah, perguruan tinggi, jalanan, perkantoran, alat transportasi hingga pesantren dan dunia maya. Pelecehan seksual dalam berbagai bentuknya hingga perkosaan dilakukan tanpa mempertimbangkan efek psikologis dan konsekuensi hukum yang mesti ditanggung. Guru, dosen, ustad bahkan orang-orang terdekat dalam keluarga justru menjadi pelaku kejahatan amoral. Ia menjadi contoh disparitas antara realitas hukum dan sistem sosial masyarakat kita.

Terdapat ketimpangan relasi kuasa yang, menurut Aisyah (2022) bersifat hierarkis, ketidaksetaraan, dan/atau ketergantungan status sosial, budaya, pengetahuan/pendidikan, dan/atau ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lainnya. Ini merugikan pihak yang berposisi lebih rendah. Ketergantungan seseorang pada orang dalam relasi kuasa tersebut menimbulkan kekuasaan yang berpotensi disalahgunakan.

Terdapat pihak sub-ordinat, yang harus menerima perlakuan dari pihak super-ordinat, termasuk menjadi objek kekerasan. Adanya kuasa yang dimiliki pelaku atas korban membuat pelaku merasa berhak dan merasa tidak bersalah ketika melakukan kejahatan tersebut.

Kehidupan bersosial-masyarakat kita jadi terancam oleh logika kekerasan dan kejahatan sistemik yang terjadi dalam setiap sendi kehidupan. Untuk itu, upaya mitigasi yang harus dilakukan adalah menjadikan diri sebagai makhluk berpikir yang mampu membaca, sanggup menilai, mengambil jarak dan bersikap kritis. Perubahan paradigma ini menjadi refleksi dan antitesis yang mencegah kita terjerumus dalam pola, metode dan sistem produksi kekerasan dan kejahatan dengan berbagai logika dan bentuk implementasinya.

Penguatan karakter tiap individu menjadi urgensi logika, pilihan sikap dan sifat hidup keseharian yang mesti diupayakan dalam berbagai aspek. Edukasi moral dan etika di semua jenjang pendidikan menjadi subjek penting yang harus dilakukan dan diutamakan mulai dari lingkungan keluarga serta menjadi dasar interaksi komunal.

Kekerasan dan kejahatan juga harus dikonter dengan penegakan hukum yang adil dan tegas dengan didukung peraturan regulatif dan jaminan perangkat keamanan. Hukum yang ditegakkan dan ditegaskan bagi semua orang berupa sanksi bagi pelaku, dukungan bagi para penyintas kekerasan, menjadi penanda ketertiban hukum bagi semua sekaligus menjadi jaminan bagi terciptanya keamanan untuk menciptakan kehidupan bersama yang penuh empati, rasa hormat, beradab dan bertanggung jawab. Karena jika tidak, tradisi kekerasan dan kejahatan akan terus menemukan tempatnya di masyarakat, bahkan menjadi pandemi kesekian dalam kehidupan.time informasi

Baca juga :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *